Abstrak
Kota Administrasi Jakarta Pusat merupakan pusat dari Ibukota Negara dan sebagai kota Metropolitan, yang secara geografis 40% berada pada dataran rendah dengan elevasi di bawah muka air laut sehingga sering terjadi genangan/ banjir. Ada beberapa titik lokasi yang telah diidentifikasi sebagai daerah yang rawan genangan, salah satunya adalah kawasan Lapangan Monas. Untuk meniadakan/mengurangi genangan air di kawasan Monas, maka dilakukan kajian pengembangan sistem drainase dengan konservasi air tanah di kawasan tersebut.
Kajian pengembangan sistem drainase kawasan Monas dimulai dengan melakukan pengumpulan data pendukung analisis, yang meliputi data topografi, permeabilitas tanah, peta lay-out drainase eksisting, serta data hidrologi. Dari data-data tersebut dilakukan analisis hidrologi untuk memperkirakan hujan rencana, dan besarnya debit puncak, sebagai dasar untuk membuat desain saluran drainasi dan mengetahui kapasitas saluran di Kawasan Monas dalam mendrainase debit air banjir. Juga dilakukan analisis hidraulika untuk mengetahui keadaan aliran di saluran mikro, dan saluran penghubung, dan analisis kapasitas tampang saluran untuk menggambarkan lokasi di sistem drainase yang kurang mampu melewatkan air banjir.
Berdasarkan analisis data, dilakukan kajian pengembangan sistem drainase, di Kawasan Taman Monas meliputi desain saluran tambahan, pembuatan kolam tampungan air bawah tanah, dan penambahan/perbaikan tali air pada saluran eksisting. Saluran drainase yang dikembangkan dikoneksikan dengan saluran penghubung di sekitar Kawasan Monas, dan terkoneksi dengan sistem tampungan bawah tanah. Tandon air bawah tanah direncanakan dibuat dari struktur beton bertulang atau dengan alternatif penggunaan Harvesting-Tank yang didesain porus sehingga dapat memperbaiki infiltrasi air hujan masuk ke dalam tanah. Saluran drainase yang baru serta kolam tandon air ditempatkan di bawah tanah, ditutup dengan penutup berpori, dan ditimbun dengan tanah timbunan porous, sekaligus sebagai media tumbuh tanaman rumput.
Kata kunci: sistem drainase terintegrasi, tandon air, Harvesting-tank
1. Pendahuluan
Permasalahan yang dihadapi Jakarta sebagai ibukota negara semakin berat dikarenakan adanya perluasan kota atau proses urban sprawl yang merupakan bentuk bertambah luasnya kota secara fisik. Perluasan kota disebabkan oleh perkembangnya penduduk dan semakin tingginya arus urbanisasi. Semakin bertambahnya penduduk kota menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap perumahan, perkantoran, dan fasilitas sosial ekonomi lain. Urban sprawl terjadi dengan ditandai adanya alih fungsi lahan yang ada di sekitar kota (urban periphery) mengingat terbatasnya lahan yang ada di pusat kota. Urban sprawl merupakan salah satu bentuk perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara vertikal maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota. Dampak dari pemekaran kota adalah semakin berkurangnya lahan subur produktif pertanian sehingga mengancam swasembada pangan karena terjadi perubahan peruntukan lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Disamping itu pemekaran kota yang tidak terkendali (unmanaged growth) menyebabkan morfologi kota yang tidak teratur, kekumuhan (slum), dan permukiman liar (squatter settlement) dan kini Jakarta dikenal sebagai kota Megapolitan secara berkelanjutan, dikhawatirkan dalam lima tahun ke depan Jakarta akan mengalami stagnasi, sehingga tidak ada lagi lahan yang bisa dibangun dan penduduk Jakarta akan sangat sulit bergerak.
Dalam rangka menanggulangi permasalahan banjir, pada tahun 2007 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merumuskan fokus kerja pengelolaan tata guna air permukaan dan tata guna air tanah Provinsi DKI Jakarta yang tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2007-2012; Terdapat sepuluh fokus kerja pengelolaan tata air yang menjadi arahan kebijakan umum pembangunan daerah (Herawati S. 2010) :
(1). Memperlambat aliran air dari hulu melalui pembangunan waduk ciawi, beberapa pintu air di Depok, dan sodetan Ciliwung-Cisadane.
(2). Membangun sistem polder dan drainase.
(3). Memperbaiki dan membangun tanggul untuk mengantisipasi kenaikan pasang laut.
(4). Meninjau-ulang (review) masterplan pengendalian banjir.
(5). Menertibkan dan menata sempadan kali, danau dan situ.
(6). Menyelesaikan Banjir Kanal Timur dan normalisasi Banjir Kanal Barat.
(7). Melakukan pengerukan muara, badan sungai, dan saluran yang menjadi tanggungjawab Provinsi DKI Jakarta.
(8). Memelihara, meningkatkan dan membangun sarana pengendali banjir.
(9). Menjalin kerjasama pengendalian banjir dengan Pemda Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Bodetabekjur), & Pemerintah Pusat.
(10). Mengefektifkan sistem peringatan dini.
Salah satu upaya yang menjadi cita-cita perbaikan sistem drainase tersebut adalah dengan memperbesar Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Biru. Kawasan Monas sebagai salah satu areal Ruang Terbuka Hijau tidak lepas dari permasalahan genangan. Kondisi saluran drainasi di sekeliling Taman Monas tidak dapat berfungsi maksimal, hal ini ditandai dengan adanya genangan/ banjir sering terjadi dan mengganggu, terutama pada daerah vital dan penting, seperti Lapangan Monas baik dari sisi Utara, Selatan, Barat, Atau Timur. Kawasan Taman Monas tidak mampu menampung limpasan air akibat curah hujan deras. Ketersediaan ruas taman yang sedianya dimaksudkan sebagai lahan resapan air tidak dapat berfungsi maksimal karena terjadinya pengerasan/sementasi tanah. Genangan air di kawasan ring satu atau seputar Istana Presiden saat hujan deras juga terjadi sebagai akibat dari hal tersebut. Gambar 1 menunjukkan kerapatan daerah tangkapan di Kawasan Monas, dan kondisi Kawasan Monas saat banjir.
Gambar 1 Kerapatan daerah tangkapan air dan Kejadian Banjir di Kawasan Monas.
Kota Jakarta yang semakin berkembang memiliki dampak positif dan negatif, dampak positif yang terjadi diantaranya adalah semakin berkembangnya laju perekonomian, namun disamping itu perkembangan Kota Jakarta juga memiliki dampak negatif, diantaranya adalah adanya keterbatasan lahan kosong sehingga lahan untuk tata air juga akan semakin berkurang. Untuk itu dibutuhkan suatu program kerja yang terpadu untuk mengatasi banjir/genangan dan membuat suatu perencanaan teknis saluran.
2. Permasalahan Drainase di Kawasan Monas
Permasalahan genangan di Kawasan Monas menjadi sorotan dari berbagai pihak, mengingat daerah tersebut berada di jantung kota dan di pusat pemerintahan.Beberapa penyebab genangan/ banjir tersebut di Kawasan Monas teridentifikasi sebagai berikut :
· Kapasitas saluran yang tidak memadai untuk mengalirkan air hujan terutama pada saat intensitas hujan tinggi. Disamping itu juga pemeliharaan saluran yang kurang baik, dimana banyak dijumpai sampah dalam saluran
· Drainase yang tidak berwawasan lingkungan, ditambah dengan kondisi tanah yang tidak mampu meresapkan air.
· Kurangnya tali-tali air yang berfungsi memaskkan air hujan ke dalam saluran
· Terdapatnya endapan lumpur (sedimentasi) pada saluran-saluran mikro, penghubung, sub makro maupun makro.
· Pengaruh pasang air laut yang berdampak pada efek pembendungan sehingga muka air di saluran primer relative tinggi.
· Penurunan muka tanah dan adanya kenaikan muka air laut akibat “Global Warming”, dan sebagainya
3. Perencanaan Teknis Sistem Drainase
Kondisi fisik Kawasan Monas
Beberapa penelitian tentang kondisi fisik di kawasan Monas untuk mendukung upaya perbaikan sistem drainase, diantaranya diuraikan sebagai berikut ini.
Jenis Tanah
Kondisi tanah di kawasan Monas dapat dikaji dari data hasil pemeriksaan laboratorium untuk sampel tanah yang diambil secara undisturbed, serta data permabilitas tanah dari hasil pengujian permeabilitas di laboratorium. Data kondisi tanah tersebut disajikan sebagai berikut ini.
Tabel 1 Data hasil Pengujian Laboratorium Mekanika Tanah
Sedangkan nilai permeabilitas tanah diberikan sebagai berikut ini.
Tabel 2 Data Permeabilitas Tanah
Diperlihatkan pada data tanah tersebut, jenis tanah di kawasan Monas berupa tanah lempung coklat dan abu-abu dengan nilai kohesi c antara 0,192 – 0,298 kg/cm2, dengan permeabilitas tanah antara (4,6 – 8,7) 10-7 cm/dt yang mengindikasikan juga jenis tanah lempung. Dengan jenis tanah lempung tersebut, kemampuan tanah untuk meresapkan air sangat kecil sehingga fungsi Taman Monas sebagai kawasan resapan air tidak cukup optimal.
Penurunan muka air tanah dan Land Subsidence
Menurut data dari BPLHD, terjadi penurunan muka air tanah yang cukup signifikan, mencapai 10 – 40 m selama 45 tahun, atau sekitar 0,2 – 0,9 m/tahun. Untuk Kota Administrasi Jakarta Pusat, penurunan air tanah yang terjadi rata-rata sekitar 0,2-0,5 m/tahun. Penurunan muka air tanah diantaranya disebabkan oleh pengambilan air tanah oleh industri dan perkantoran yang melebihi imbuhan air ke dalam tampungan air tanah. Pengambialan air tanah di DKI saat ini mencapai 253 juta m3/th, defisit sekitar 67 juta m3/th terhadap ambang batas sebesar 186 juta m3/th. Imbuhan air tanah berasal dari air hujan, dimana per tahun rerata air hujan yang jatuh di DKI sekitar 2000 juta m3, 26% nya meresap mengisi air tanah dangkal. Dari 532 juta m3/th yang masuk ke tampungan air tanah dangkal tersebut, hanya 30 jt m3 yang mengisi tampungan air tanah dalam. Defisit air tanah tersebut berdampak pada terjadinya penurunan muka air tanah dan intrusi air asin.
Dengan penurunan muka air tanah tersebut, berdampak terjadinya land subsidence, yang menurut data dari JICA (1997), mencapai 5- 10 cm/tahun di DKI. Sedangkan intrusi air asin sudah masuk ke daratan sejauh 3 km di air tanah dangkal dan mencapai 10 km di air tanah dalam.
Analisis Hidrologi dan Hidraulika
Analisis hidrologi dimaksudkan untuk memperkirakan hujan rencana, dan besarnya debit puncak, sebagai dasar untuk perencanaan / desain saluran drainasi dan mengetahui kapasitas di saluran Kawasan Monas dalam mendrainase debit air banjir.
Di Provinsi DKI Jakarta terdapat 12 stasiun yang dikelola oleh Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Data intensitas hujan dikumpulkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Menurut studi sebelumnya oleh NEDECO (1973, 2005) dan JICA (1991), stasiun hujan No 27 di BMG Kemayoran, yang berada di tengah-tengah kota Jakarta dianggap dapat mewakili kondisi hujan di pusat Kota Jakarta, termasuk kawasan di wilayah studi yaitu Kawasan Monas. Dengan berdasarkan data hujan di stasiun No 27, dapat disusun Kurva intensitas-Frekuensi-Durasi (The Intensity-Duration-Frequency curve), IDF, yang digunakan untuk estimasi desain aliran pada saluran mikro, dan sub makro di wilayah DKI
Mengacu pada standar yang ada, untuk menghitung dimensi saluran digunakan periode kala ulang banjir 2 - 5 tahun untuk saluran mikro, 5 - 10 tahun saluran penghubung, dan untuk saluran sub makro, 10 - 25 tahun. Untuk saluran makro, didesain berdasarkan debit banjir kala ulang 50 tahun.
Intensitas Hujan
Intensitas hujan rancangan didapatkan dari lengkung IDF (Intensity Duration Frekuency), yang berupa grafik hubungan antara durasi hujan (t : menit) vs intensitas hujan ( I : mm/jam). Analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman data hujan Intensitas hujan rancangan merupakan intensitas hujan pada saat waktu puncak (tp) Intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) secara empirik menggunakan metode mononobe.
Koefisien Limpasan (Run Off)
Koefisien runoff ditentukan berdasarkan tipe tata guna lahan pada daerah Catchment Area tersebut, dengan anggapan bahwa daerah tersebut sudah berkembang sepenuhnya sesuai rencana tata ruang wilayah kecamatan dari Dinas Tata Kota DKI Jakarta. Nilai koefisien limpasan pada lahan-lahan di Jakarta Pusat (termasuk Kawasan Monas) adalah merupakan daerah pemukiman padat dengan tingkat kerapatan bangunan sangat rapat, akan tetapi karena di Kawasan Monas tanah yang ada berupa lempung maka diambil nilai Cy = 0,60.
Daerah Tangkapan Air Saluran Drainase (Catchment)
Untuk mendapatkan daerah tangkapan air yang mewakili kenyataan di lapangan, maka digunakan data/informasi sebagai berikut ini
a. Peta GIS yang terdiri atas layer kontur, jalan, sungai/saluran, bangunan, dan daerah genangan,
b. File image hasil foto udara,
c. Informasi lapangan,
d. Hasil topografi survei saluran,
e. Hasil studi yang ada
Perhitungan Debit Puncak Untuk Desain Saluran Drainase
Sesuai Acuan Desain, debit puncak untuk desain saluran drainase dihitung menggunakan formula rasional, yang banyak digunakan dalam rekayasa hidrologi, yang diberikan sebagai berikut:
Qy = 0.00278 Cy Itc,y A
Analisis Hidraulika
Pada umumnya di saluran drainase pada saat kedalaman air normal maka profil aliran di saluran sangat menyerupai aliran seragam. Akan tetapi hal ini akan segera berubah akibat adanya ketidakteraturan setempat dari saluran akibat adanya gangguan (sedimentasi, vegetasi, sampah dll). Analisis kapasitas tampang merupakan salah satu bagian dari analisis hidraulika. Informasi yang diperoleh dari analisis kapasitas tampang menggambarkan tempat-tempat penting di sepanjang saluran yang kurang mampu melewatkan air. Informasi-informasi yang digunakan untuk analisis kapasitas tampang antara lain adalah luas tampang melintang saluran, kondisi dasar dan tebing saluran, dll.
Tabel 3 berikut ini memberikan hasil analisa hidraulika kapasitas saluran, yang disajikan bersama-sama dengan hasil hitungan debit 5 tahunan yang didrainase lewat saluran.
Tabel 3 Hasil kajian Debit banjir 5 Tahunan dan Desain Ukuran Saluran Drainase.
Sistem drainase kawasan Monas
Drainase yang sudah ada di Kawasan Taman Monas hanya di sekitar sisi Jalan Silang Monas dan acap kali tak mampu menampung limpahan air hujan dari berbagai tempat di taman. Pengembangan sistem drainase di Kawasan Taman Monas meliputi desain saluran tambahan, yang difungsikan untuk mendrainasi air hujan yang turun di taman untuk disalurkan ke saluran penghubung di sisi jalan silang dan saluran di sisi jalan di keliling luar Taman Monas (Jalan Merdeka Timur, Barat Utara dan Selatan). Disamping itu sistem saluran juga di kombinasikan dengan pembuatan kolam tampungan air bawah tanah, yang diharapkan dapat difungsikan sebagai tampungan retensi.
Pada Silang Monas Utara, sudah ada saluran eksisting di sisi jalan Silang Barat Laut dan Jalan Silang Timur Laut. Untuk pengembangan saluran drainase ini didesain beberapa saluran tambahan, seperti disajikan pada Tabel 1. Saluran drainase tambahan tersebut dikoneksikan dengan saluran eksisiting yang ada serta Saluran Penghubung yang mengelilingi Kawasan Monas. Disamping itu sistem saluran drainase tersebut dihubungkan dengan kolam retensi yang dibangun di bawah tanah. Lay-out sistem saluran serta penempatan kolam tandon air bawah tanah diberikan pada Gambar 2.
Struktur saluran didesain menggunakan U-Ditch dengan tutup berlubang, yang diharapkan air hujan disamping masuk saluran lewat tali-tali air, juga terinfiltrasi dan masuk saluran lewat tutup U-ditch. Pada Gambar 3 ditunjukkan Potongan Melintang Saluran A, dimana seluruh badan saluran ditempatkan di bawah muka tanah. Saluran U-ditch 0,80 x 0,80 ditutup dengan penutup berpori, dan ditimbun dengan tanah timbunan porous, sekaligus sebagai media tumbuh tanaman rumput. Diantara tutup U-ditch dan tanah timbunan dipasang lembaran geotextile. Untuk memasukkan air hujan ke saluran, pada tiap jarak 4,8 m (4 U-Ditch) dipasang tali air, dimana permukaan tali air dibuat di permukaan tanah. Saluran drainase di Kawasan Monas tersebut, disamping dikoneksikan dengan kolam bawah tanah, juga terhubung dengan saluran penghubung di sekitarnya, yaitu saluran penghubung di Jalan Merdeka Utara, Selatan, Barat dan Timur, untuk selanjutnya dialirkan ke saluran drainase Primer di Kali Cideng.
Dari kajian kondisi lapangan, teridentifikasi 10 lokasi yang memungkinkan untuk dibuat tandon air bawah tanah. Lokasi-lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan tidak ada tanaman besar yang ditebang untuk pembangunan kolam tersebut. Mengingat bagian selatan Tugu Monas dalam Masterplan Penataan Kawasan Monas direncanakan dibangun ruangan bawah tanah, maka dipilih 7 lokasi kolam saja yang direkomendasikan untuk dibuat, dimana dimensi kolam serta kapasitasnya diberikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut, disajikan juga volume air hujan yang turun di kawasan Taman Monas, dimana diperlihatkan bahwa tidak semua kolam di masing-masing bagian dapat mencukupi menampung air hujan yang turun, sehingga dalam desain koneksi antara saluran dan kolam perlu dilengkapi dengan pipa outlet yang dikoneksikan dengan sistem saluran drainase eksisting.
Tabel 4 Volume Air Hujan dan Kapasitas Kolam
Gambar 2. Lay-out penempatan Rencana Saluran dan Kolam Bawah Tanah
Gambar 3 Tipikal Saluran: U-Ditch (kiri), dengan Bak Kontrol (kanan)
Gambar 4 Tipikal Kolam Bawah Tanah sebagai Badan Air di Bawah RTH, Struktur Beton
Tampak Lay-out (atas), Potongan (bawah)
Struktur kolam bawah tanah dapat juga digunakan bahan non-beton, sebagai alternatif, yaitu dengan menggunakan Versi-Tank. Contoh penggunaan Versi-Tank untuk kolam retensi diberikan pada Gambar 5. Versi-Tank ini terbuat dari recycled polypropylene, dengan kemampuan pembebanan lebih dari 11 t/m2.
Mengingat kondisi tanah di kawasan Monas yang berupa tanah lempung, kolam bawah tanah tersebut tidak efektif jika difungsikan sebagai kolam infiltrasi, akan tetapi berfungsi sebagai kolam retensi. Dari 7 kolam tersebut diperlukan dana konstruksi sebesar sekitar 16,3 Milyar Rupiah. Saat ini Ruang Terbuka Biru yang ada di DKI baru sekitar 2,8% dari kondisi ideal mencapai 10 %. Dengan adanya 7 kolam bawah tanah tersebut dapat menambah jumlah badan air yang ada di DKI, sekaligus memperbaiki Ruang Terbuka Hijau yang di Kawasan Monas tidak dapat berfungsi optimal sebagai areal resapan karena kondisi tanahnya yang tidak permeabel. Kolam awah tanah yang dibuat, disamping dimanfaatkan sebagai kolam retensi untuk mengurangi genangan, air yang tersimpan di kolam dapat dimanfaatkan untuk menyiram tanaman.
Gambar 5 Tipikal Kolam Bawah Tanah sebagai Badan Air di Bawah RTH, Alternatif dengan Versi-Tank
(sumber: PT. Trisigma Indonusa)
4. Kesimpulan
Dari kajian di atas, disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Genangan di Kawasan Taman Monas sering terjadi dikarenakan kemampuan sistem drainase eksising tidak mampu mendrainasi air hujan yang turun.
2. Kondisi tanah yang berupa tanah lempung dengan nilai permeabilitas rendah, menyebabkan fungsi resapan kawasan Monas sebagai Ruang Terbuka Hijau tidak optimal.
3. Dari Kajian data, untuk mengurangi dan mengendalikan genangan, diperlukan perbaikan sistem drainase eksisting, penambahan saluran drainase, serta pembuatan kolam bawah tanah
4. Dua alternatif kolam bawah tanah diusulkan, yaitu kolam beton dan kolam dengan Versi-Tank. Keduanya diharapkan dapat berfungsi sebagai kolam retensi sehingga membantu mengurangi genangan dan memperbaiki fungsi Taman Monas sebagai Ruang Terbuka Hijau yang mampu meresapkan air.
DAFTAR PUSTAKA
Bapekota Jakarta Pusat, 2006. Perencanaan Sistem Jaringan Drainase Perkotaan Berwawasan Lingkungan, Badan Perencanaan Kota Jakarta Pusat
Bataviase. co. Id, DPRD Minta Drainase Monas Diperbesar
Beritabatavia.com, 5 Okt 2010, Drainase Monas Perlu Diperbaiki
Hermawati S. (2010), Evaluasi Kebijakan Ketertiban Umum dalam Pengelolaan Sungai dan Saluran untuk Penanggulangan Banjir, Disertasi, Program Pasca Sajana UNJ.
Indo Pos, 4 Maret 2010, Drainase Ring I Buruk Genangan di Kawasan Istana Presiden RI
Nursula Jaya Utama, PT. (2010), Laporan Akhir, Perencanaan Teknis Sistem Drainase dan Konservasi di Kawasan Monas Sisi Barat, Timur, Selatan, dan Utara.
Pos Kota, 5 Maret 2010, DKI Bangun Penampungan Air Bawah Tanah di Monas
ada referensi untuk standar debit banjir rancangan kala ulang tertentu untuk perencanaan gak?? diatas disebutkan "Mengacu pada standar yang ada, untuk menghitung dimensi saluran digunakan periode kala ulang banjir 2 - 5 tahun untuk saluran mikro, 5 - 10 tahun saluran penghubung, dan untuk saluran sub makro, 10 - 25 tahun. Untuk saluran makro, didesain berdasarkan debit banjir kala ulang 50 tahun." kok gak dicantumkan sumbernya referensinya??
BalasHapus