Jumat, 11 November 2011

Fenomena Gelombang Pasang Bono di Muara Sungai Kampar

Abstract
When a river mouth has a flat converging shape and when the tidal is relatively high, the river may existence a tidal bore. A tidal bore found at Kampar River, called Bono, is basically a positive surge may travel long distances upstream about 60 km of the mouth. The occurrence of a bore has a significant impact on river systems.
To understand flow characteristic where Bono exist, the hydraulic analysis is intended to recognize the water phenomenon throughout the observed Kampar River under the averaged velocities and the tides. The hydraulic analysis is carried out using HecRAS software. The hydraulic simulation gives information about water surface profile, velocity, and flow through the channel. Water surface fluctuations, resulting from simulation, are overlied wih field data.
Bono phenomenon can be analog as undular hydraulics jump in steady state conditions, suggesting high shear stresses beneath the first wave crest. Consequently bed erosion and scour take place beneath the bore front while suspended matters may be carried upwards in the following wave motion. This sediment transport may affect changes of river morphology; creates some small islands in the river and bank erosion near Muda Island and mouth of Serkap River. These sediment deposits can be explored, however this sand mining should be managed and arranged to maintain the existence of Tidal Bore Bono. Flow simulation using Hec RAS model predicts flow fluctuations at same places where tidal bores Bono impact also significantly on ecosystems. Water Salinity near Muda Island is raised significantly 3 hours after the highest Tidal at Kampar Mouth, following near Sei Serkap an hour later. However at Tanjung Rengas, increasing of salinity is not important.
Keywords: Tidal Bore, Bono, River morphology, Salinity

*) Staf pengajar Teknik Sipil dan Lingkungan F.Teknik UGM

1. Pendahuluan
Di Propinsi Riau terdapat 4 sungai yang sumber airnya berasal dari Bukit Barisan yang membentang di sepanjang Pulau Sumatera dan bermuara di pantai timur Sumatra. Ke-4 sungai tersebut adalah Sungai Rokan, Sungai Siak, Sungai Kampar, dan Sungai Indragiri.  Dari keempat sungai yang ada di Riau Daratan tersebut salah satunya memiliki potensi yang unik yang bisa dikembangkan untuk kepentingan Pengelolaan Sumber Daya Air dan ataupun kepentingan penelitian, dimana peristiwa yang sering disebut orang setempat sebagai Bono, sering terjadi di muara sungai Kampar dan telah menelan korban jiwa dan harta benda akibat hempasan gelombang Bono. Sampai saat ini peristiwa Bono tersebut masih merupakan teka teki penduduk dan masyarakat umum lainnya, dan oleh sebagian masyarakat berpendapat bahwa peristiwa Bono berhubungan erat dengan sejarah jaman Belanda.
Bono merupakan fenomena alam yang karena kondisi di muara sungainya terjadi pendangkalan berat sehingga ketika air pasang datang dari laut, air pasang tidak dapat bergerak ke hulu dengan lancar namun tercegah oleh endapan dan bentuk muara sungai yang menguncup. Bono merupakan fenomena alam yang disebabkan oleh gelombang pasang surut yang bertemu dengan arus Sungai Kampar. Kondisi muara yang berbentuk ’V’ memungkinkan pertemuan kedua macam arus tersebut, yaitu arus pasang dan arus sungai dari hulu, membangkitkan terbentuknya Bono. Gelombang Bono termasuk dalam kategori Tidal Bore, yaitu fenomena hidrodinamika yang terkait dengan pergerakan massa air dimana gelombang pasang menjalar menuju ke hulu dengan kekuatan yang bersifat merusak. Tidak semua muara sungai ataupun teluk bisa membangkitkan gelombang pasang semacam Bono. Catatan yang pernah ada sebagaimana dilaporkan TBRS (Tidal Bore Research Society), Bore yang terjadi di buy of Fundy Canada adalah tertinggi dari lebih seratus kejadian bono yang di pantau di 60 tempat di seluruh dunia. Beberapa fenomena yang pernah terjadi di negara lain (Donnelly dan H. Chanson, 2002) , seperti di Batang Lumpar (Malaysia), Sungai Siene (Francis), Sungai Shubenacadie dan Sungai Stewackie (Canada), Sungai Yang Tse-Kiang dan Sungai Hangzhou (Hangchow) di China, Bore di Sungai Amazon (pororoca) di Brazil, tidal bore di Sungai Seine (mascaret) di Perancis, dan Tidal Bore Hoogly di Sungai Gangga.  
2. Landasan Teori
Pasangsurut yang ada di Muara Sungai Kampar mempunyai tinggi gelombang sekitar 4 m (Deshidros, 2006). Pasang surut tersebut berupa pasang surut tipe Campuran Condong ke Harian Ganda, dimana dalam 1 hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi pasang surut yang pertama dan kedua berbeda. Periode gelombang pasang surut sekitar 12 jam 25 menit.
Di Sungai Kampar, muara sungai berbentuk seperti huruf "V", massa air masuk melalui mulut teluk yang lebar kemudian tertahan, hingga air laut pasang memenuhi kawasan muara. Massa air yang terkumpul kemudian terdorong kearah hulu yang menyebabkan semacam efek tekanan kuat ketika melewati areal yang menyempit dan dangkal secara konstan di mulut teluk. Keadaan ini memunculkan gelombang yang bervariasi di hulu teluk, dari hanya berupa gelombang-gelombang kecil hingga beberapa meter ketinggiannya.
Gambar berikut memberikan skema terjadinya ‘Bore Bono’, yang merupakan interaksi antara arus air pasang di muara Sungai Kampar dengan arus air Sungai Kampar.

 
Gambar 1. Skema terbentuknya Bore Bono di muara Sungai (Chanson, H, 2003)


Di muara Sungai Kampar, kecepatan gelombang dapat lebih rendah dibandingkan kecepatan arus sungai yang berasal dari hulu sungai. Hal ini berakibat pada terhambatnya gerakan gelombang pasang dari laut, yang berakibat pada naiknya muka air dari muara, sehingga terbentuk Tidal Bore ‘Bono’. Gelombang Bono bergerak ke hulu sampai ke Tanjung Pungai yang berjarak sekitar 60 km dari muara.
Di Provinsi Riau, fenomena Bono dapat ditemukan di samping di muara Sungai Kampar, juga di Sungai Kubu, Kabupaten Rokan Hilir.  Menurut masyarakat ditepi Sungai Rokan dan Sungai Kampar  bagian muara, tinggi Bono di sungai ini bisa mencapai 4‑6 meter. Kejadian bono ini merupakan gelombang pasang yang amat kencang dan secara mendadak meningkatkan permukaan air sungai.
Munculnya gelombang Bono menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap system estuary/muara Sungai Kampar.  Pengaruh fenomena alam yang terjadi di sepanjang Sungai Kampar dan perairan sekitar muara Sungai Kampar, telah menimbulkan angkutan pasir yang cukup besar dan terjadi pengendapan di sekitar Pulau Muda, dan pulau Mendol. Endapan pasir yang terjadi dibeberapa tempat di Sungai Kampar dan perairan sekitar muaranya merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan, akan tetapi perlu dikaji lebih jauh pemanfaatan Pasir tersebut terhadap lingkungan dan keberadaan Bono. Erosi dasar dan gerusan local terjadi di bawah Bono. Material hasil gerusan ini dibawa oleh Gelombang Bono ke hulu, dan didepositkan saat kondisi kecepatan melemah akibat bertemunya arus pasang dangan arus sungai. 
Seperti telah dijelaskan di depan Bono merupakan Tidal Bore yang menjalar dari muara menuju ke hulu. Gambar 2 berikut merupakan skema interaksi antara gelombang pasang dari laut dan arus sungai, membentuk Tidal Bore. Sungai mempunyai kecepatan aliran sebesar V1 dengan kedalaman d1, setelah bertemu arus pasang kedalaman aliran berubah menjadi d2 dan kecepatan aliran mengecil menjadi V2.
Karakteristik Tidal Bore yang bersifat tidak permanen (unsteady flow), disimplifikasi menjadi kondisi permanen dengan kondisi aliran diberikan pada skema sebelah kiri dari Gambar 3.


Gambar 2. Skema interaksi Arus Pasang dengan Arus Sungai
Jika kecepatan penjalaran Bore sebesar Cs, dan kajian dilakukan relatif terhadap penjalaran Bore, maka skema bagian kanan dari Gambar 3 dapat dipakai sebagai acuan.

Gambar 3. Simplifikasi Bore pada kondisi Aliran Permanen

Gambar 3. sebelah kanan menunjukkan kondisi aliran stasioner yang dapat di analogikan dengan fenomena Undular Hydraulic Jump.  DONNELLY C. dan H. CHANSON, 2005 melakukan eksperimen di kanal dengan Loncat Hidraulis tipe Undular, dilakukan dengan angka Froud 1,25 dan 1,6. Skema penelitian diberikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Skema Penelitian di Laboratorium (C.DONNELLY and H.CHANSON, 2005)
Hasil penelitian menunjukkan terjadinya pusaran di dekat dasar pada gelombang yang pertama (paling depan). Penelitian juga dilakukan dengan mengkaji kondisi distribusi kecepatan dan besarnya Tegangan Geser di dekat dasar di bawah Undular Hydraulic Jump. Dari hasil penelitian diperlihatkan tegangan geser di dekat dasar di lokasi Bore yang paling depan membesar, sehingga potensial untuk menggerus dasar sungai. Erosi dasar sungai terjadi di bawah Gelombang Bore yang paling depan, sedangkan gelombang dibelakangnya mengangkut material suspensi, dibawa ke hulu dan diendapkan di lokasi dimana kecepatan aliran mengecil.

3. Metodologi
Penelitian terhadap fenomena gelombang pasang Bono dilakukan berdasarkan data sekunder, yang meliputi:
- Data hasil pengukuran bathimetri oleh PT. Puser Bumi tahun 2006
- Data pasang surut yang diperoleh dari Deshidros
- Data salinitas dari Balitbang Riau tahun 2005
- Peta RBI dari Bakosurtanal
Analisa hidraulis dilakukan dengan bantuan Software Hec RAS, yaitu software 1 dimensi untuk mensimulasikan hidraulika sungai. Hasil dari simulasi hidraulika berupa kedalaman dan kecepatan aliran sebagai fungsi waktu pada  ruas sungai mulai dari muara ke hulu sepanjang 60 km.
Data hasil pengukuran bathimetri dari PT Puserbumi (2006) dioverlaykan dengan peta RBI untuk mengkaji lokasi-lokasi dimana terjadi perubahan garis tebing sungai.
Data salinitas dari Balitbang Riau tahun 2005 dioverlay dengan hasil simulasi hidraulis pada waktu yang sama. Hasil overley ini dipakai untuk mengkaji pengaruh arus pasang (dan kemungkinan terjadinya Gelombang Pasang Bono) terhadap peningkatan salinitas di beberapa lokasi tinjauan.

4. Hasil dan Pembahasan
Lokasi Bono
Seperti telah dijelaskan di depan, Gelombang Bono merupakan Tidal Bore, yang dibangkitkan oleh bertemunya arus pasang dengan arus sungai pada muara Sungai Kampar yang berbentuk divergen (‘V’).  Muara sungai Kampar diberikan pada Gambar 6, dimana diperlihatkan muara Sungai Kampar yang menguncup (divergen). Gambar 6 bersumber dari Peta Rupa Bumi (Bakosurtanal) yang merupakan interpretasi foto udara pada Tahun 1999.

Gambar 6 Lokasi terjadinya Bono

Bono yang menjalar menuju ke hulu melewati alur sungai yang semakin menyempit. Saat melewati Pulau Muda, gelombang pasang ini terpisah menjadi dua, sebagian lewat alur di sebelah kiri, dan sebagian lagi lewat alur sebelah kanan Pulau Muda.
Di Tanjung Perbilahan Bono yang terpisah tersebut saling bertemu, menghasilkan momentum yang mengakibatkan Gelombang Bono semakin besar. Penduduk setempat menyebut peristiwa ini sebagai ‘Bono yang bertepuk’. Di Tanjung Perbilahan, Gelombang Bono terjadi paling besar.
Gambar 8 berikut ini menunjukkan kejadian Bono yang diambil di Tanjung Perbilahan, pada Tanggal 12 Oktober 2006 ( 19 Ramadhan) yang bukan merupakan bulan purnama ataupun bulan mati, sehingga Bono yang terekam tidak mempunyai ukuran besar. Bono terbesar terjadi pada saat bulan purnama atau bulan mati (Tanggal 15 dan tanggal 1 pada sistem Kalender Komariah), terutama pada bulan November dan Desember, yaitu saat debit air Sungai Kampar besar.

Gambar 8. Kondisi Bono pada tanggal 12 Oktober 2006 (19 Ramadhan)

Gelombang Bono tersebut menjalar ke hulu dengan kecepatan sekitar 40 – 50 km/jam, sehingga akan sampai di Tanjung Perbilahan, yang berjarak sekitar 42 km dari muara, 1 jam setelah waktu pada saat puncak pasang tertinggi di muara. Dari Tanjung Perbilahan, Bono menjalar terus ke hulu sampai ke Teluk Meranti. Kondisi alur sungai di Teluk Meranti membelok ke utara, yang berakibat Bono yang sampai ke Teluk Meranti sebagian dibelokkan ke utara, sebagian lagi menerjang pantai Teluk Meranti. Bono yang membelok ke utara  akan semakin mengecil sampai di Tanjung Pungai. Sedangkan Bono yang menerjang Pantai Teluk Meranti, sebagian air melimpas menggenangi daratan Teluk Meranti, sebagian lagi dipantulkan kembali ke hilir. Bono hasil pantulan ini sering menelan korban perahu motor/kapal, karena pengemudi perahu tidak menduga ada gelombang Bono yang berasal dari hulu.
Pengaruh Bono Terhadap Lingkungan Muara Sungai Kampar
Fenomena penggerusan seperti dijelaskan di atas dapat menjelaskan bahwa menjalarnya Bono ke hulu Sungai Kampar akan mengangkut sedimen dasar dari muara ke hulu. Sedimen tersebut akan terendapkan di daerah dimana Gelombang Bono sudah mengecil. Kondisi ini ditunjukkan dengan banyak terbentuknya pulau‑pulau besar dan kecil di tengah Sungai Kampar mulai dari hulu sungai (sebelum Desa Teluk Meranti) sampai mendekati muara. Diperkirakan pulau‑pulau yang ada ini terbentuk karena adanya endapan pasir dan lumpur yang dibawa oleh gelombang "bono" dari laut masuk ke perairan Sungai Kampar.
Kondisi Sungai Kampar bagian hilir sangat dipengaruhi oleh fenomena Bono, disamping arus air Sungai Kampar yang relatif deras.  Untuk mendapatkan data perubahan garis tepi sungai, dilakukan inventarisasi permasalahan fisik yang ada di lapangan. Inventarisasi ini dilakukan dengan peninjauan lapangan, wawancara dengan masyarakat dan instansi terkait, dan dari laporan studi terdahulu. Pada umumnya jenis permasalahan fisik muara sungai dapat dikelompokkan sebagai berikut ini.
1.      Permukiman yang terlalu dekat dengan garis sungai, berada pada sempadan sungai, terutama di Teluk Meranti yang berada di belokan sungai. Pada saat Gelombang Bono menghantam perumahan di Teluk Meranti, air sungai disamping menghantam perairan juga air masuk ke perumahan sampai mencapai 1 m dari muka tanah.
2.      Erosi dari arus sungai yang mengikis tebing sungai, maupun pulau-pulau yang berada di tengah sungai.
3.      Intrusi air laut (gangguan terhadap sumur penduduk).
4.      Kerusakan mangrove
5.      Proses sedimentasi akan menyebabkan agradasi yang tidak menguntungkan, disatu sisi, di sisi lain hal ini akan dapat diambil manfaatnya.

Deposisi dan Sedimentasi
Tingginya konsentrasi angkutan sedimen di Muara Sungai Kampar disebabkan besarnya sedimen pasir yang terbawa Bono. Sedimen tersebut pada lokasi-lokasi tertentu akan terdeposit yang berakibat pendangkalan dasar sungai. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam masalah transportasi perairan, karena akan menyebabkan mudah kandasnya perahu-perahu yang lewat. Untuk mengatasi pendangkalan biasanya dilakukan dengan pengerukan yang menghabiskan biaya besar. Erosi dan sedimentasi di muara sungai tersebut dapat mengakibatkan mundur atau majunya garis sungai. Erosi bisa terjadi secara alami oleh gerusan arus air Sungai Kampar dan dapat juga saat terjadi Bono besar. Gambar berikut ini menunjukkan kondisi garis batas sungai yang diambil dari Peta Rupa Bumi Tahun 1999. Pada gambar tersebut juga di-overlay-kan titik-titik dimana dilakukan pengukuran bathimetri dasar sungai pada Tahun 2006 (PT. Puser Bumi).


Gambar 9. Peta garis sungai dioverlaykan dengan lokasi pengukuran bathimetri. (PT. Puser Bumi, 2006)

Beberapa kerusakan/perubahan garis sungai secara lebih detail dijelaskan sebagai berikut ini.
a. Lokasi di sekitar Pulau Muda
Gambar berikut menunjukkan detail kondisi perubahan alur sungai di sekitar Pulau Muda.

Gambar 10. Perubahan Garis Pinggir Sungai Kampar di Pulau Muda
Dari gambar tersebut diperlihatkan adanya perubahan tebing sungai maupun tebing Pulau Muda. Background gambar tersebut merupakan kondisi alur sungai yang diambil dari peta rupa bumi berdasarkan foto udara Tahun 1999. Sedangkan garis putus-putus menunjukkan garis tebing sungai pada saat pengukuran bathimetri (Tahun 2006). Diperlihatkan pada gambar tersebut terjadinya deposisi di Pulau Muda bagian utara yang berakibat bergesernya garis batas pulau ke utara, sedangkan tebing sungai terkikis sehingga garis batas sungai bergeser ke utara.
Alur sungai yang menyempit dan terbelah oleh Pulau muda mengakibatkan kecepatan aliran yang lewat alur sebelah kiri (utara) maupun alur sebelah kanan (selatan) lebih besar dibandingkan kecepatan aliran di hulu Pulau Muda. Hal ini berakibat proses erosi tebing sungai berlangsung sangat intensif. Disamping itu arus pasang, pada sebagian waktu membangkitkan Bono, membawa banyak sedimen dari laut yang masuk ke muara yang berakibat proses deposisi.
b. Lokasi di sekitar Muara Anak Sungai Serkap
Gambar berikut merupakan kondisi alur sungai di sekitar muara Anak Sungai Serkap. Diperlihatkan pada gambar tersebut, terjadi abrasi/gerusan di sisi kanan tebing sungai Kampar (diperlihatkan dengan garis putus-putus)

 
Gambar 11. Kondisi Alur Sungai Disekitar muara Anak Sungai
Tinjauan Salinitas di Muara Sungai Kampar
Untuk melihat lebih detail pengaruh pasang surut terhadap salinitas di sepanjang muara Sungai Kampar, dilakukan analisa hidraulika dengan bantuan Model Hec RAS. Data salinitas selama 15 hari di Pulau Muda, Sei serkap, dan di Tanjung Rengas, diambil dari data sekunder yang diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan PemProv Riau pada Tahun 2005. Simulasi hidraulis dengan Hec RAS dilakukan pada tanggal dan jam yang sama dengan data salinitas, dimana hasil simulasi numerik tersebut ditampilkan pada gambar yang sama dengan data pasang surut di Muara Sungai Kampar, seperti diberikan pada Gambar 12 – Gambar 14.  Pada gambar tersebut ditampilkan untuk sebagian data pada saat elevasi pasang tinggi dan arus sungai dari hulu rendah.
 Gambar 12 Pengaruh Hidraulika Gelombang Pasang terhadap Salinitas di Sekitar Pulau Muda




Gambar 14 Pengaruh Hidraulika Gelombang Pasang terhadap Salinitas di Sekitar Tj. Rengas


Pada Gambar 12 dan 13 diperlihatkan elevasi muka air di sekitar Pulau Muda, yang merupakan hasil simulasi numerik dengan Hec RAS, pada jam ke 144 sampai jam ke 192. Data salinitas hasil pengukuran oleh Badan Penelitian dan Pengembangan PemProv Riau pada Tahun 2005 juga diperlihatkan pada gambar tersebut.  Dari kedua data tersebut, diperlihatkan meningkatnya salinitas di Pulau Muda dan di Sei Serkap beberapa saat setelah pasang tinggi (terbentuknya Bono). Salinitas tertinggi terjadi di Pulau Muda sekitar 3 jam setelah elevasi air pasang di Muara Sungai, sedangkan salinitas tertinggi di Sei Serkap terjadi sekitar 1 jam sesudahnya. Sedangkan di Tanjung Rengas (Gambar 14), dimana fluktuasi muka air oleh pasang surut sudah kecil,  pengaruh Bono terhadap peningkatan salinitas tidak terlihat dengan jelas.

5. Kesimpulan
Dari hasil kajian fenomena Bono di Muara Sungai Kampar dapat diperoleh beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut ini.
1.      Bono merupakan fenomena alam yang disebabkan oleh gelombang pasang surut yang bertemu dengan arus Sungai (S. Kampar). Kondisi muara yang berbentuk ’V’ (corong) memungkinkan pertemuan kedua macam arus tersebut membangkitkan terbentuknya Bono. Gelombang Bono termasuk dalam kategori Tidal Bore, yang menjalar menuju ke hulu sampai di Tanjung Pungai (sekitar 60 km dari muara).
2.      Bono mulai terbentuk dan membesar di kanan kiri Pulau Muda, akibat penyempitan alur sungai karena adanya pulau (P. Muda) di tengah-tengah alur sungai. Bono terbesar terjadi di Tanjung Perbilahan, yang terbentuk karena bertemunya Bono yang sudah terbentuk di kanan-kiri Pulau Muda.
3.      Fenomena Bono dapat dianalogikan dengan loncat air tipe undular pada kondisi stasioner. Dari literatur disimpulkan bahwa terjadi kenaikan tegangan geser di bawah gelombang yang paling depan, sehingga Bono berpotensi mengangkut sedimen ke hulu.
4.      Akibat transpor sedimen yang besar oleh Gelombang Bono, berakibat pada perubahan morfologi sungai, berupa pendangkalan di beberapa lokasi di alur sungai dan perubahan garis pinggir sungai di sekitar Pulau Muda dan di sekitar Muara Anak Sungai Serkap.
5.      Dari kajian data salinitas, diperlihatkan meningkatnya salinitas di sekitar Pulau Muda dan di Sei Serkap beberapa saat setelah pasang tinggi (terbentuknya Bono).
Saran
Untuk dapat menilai kelayakan tentang berbagai potensi pengembangan pemanfaatan Sumberdaya Air dari Sungai Kampar diperlukan penelitian lebih lanjut, baik yang terkait dengan pengembangan transportasi, pariwisata, pengambilan pasir, maupun untuk pengembangan pertanian pasang surut.

6. Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Saudara Rezi, Arvandi dan Fachrudin yang telah banyak membantu dalam analisa data.

7. Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan PemProv Riau, 2005, Penelitian Pemanfaatan Endapan Pasir akibat Gejala Alam Fenomenal (Bono) di Kuala Sungai Kampar.
Chanson, H, 2003, Mixing and Dispersion in Tidal Bores : A Review, Proc. Intl Conf. on Estuaries & Coasts ICEC 2003 Nov. 9-11, 2003, Hangzhou, China.
Departemen Pekerjaan Umum, 2006, Studi Potensi Back Water (Bono) di Muara Sungai Kampar.
Donnelly and H. Chanson, 2002, Environmental Impact of Tidal Bores in Tropical Rivers, Proc. 5th Intl River Management Symp., Brisbane, Australia.
Donnelly and H. Chanson, 2006, Environmental Impact of Undular Tidal Bores in Tropical Rivers, Environmental Fluid Mechanics (2005) 5: 481–494, Springer.
Deshidos, 2006, Data Pasang Surut
Rezi F., 2007, Analysis of Design Flood Hydrograph and Capacity of Kampar River in Riau Province

PENGENDALIAN GENANGAN DI KAWASAN MONAS DENGAN SISTEM DRAINASE TERINTEGRASI

Abstrak

Kota Administrasi Jakarta Pusat merupakan pusat dari Ibukota Negara dan sebagai kota Metropolitan, yang secara geografis 40% berada pada dataran rendah dengan elevasi di bawah  muka air laut sehingga sering terjadi genangan/ banjir. Ada beberapa titik lokasi yang telah diidentifikasi sebagai daerah yang rawan genangan, salah satunya adalah  kawasan Lapangan Monas. Untuk meniadakan/mengurangi genangan air di kawasan Monas, maka dilakukan kajian pengembangan sistem drainase dengan konservasi air tanah di kawasan tersebut.
Kajian pengembangan sistem drainase kawasan Monas dimulai dengan melakukan pengumpulan data pendukung analisis, yang meliputi data topografi, permeabilitas tanah, peta lay-out drainase eksisting, serta data hidrologi. Dari data-data tersebut dilakukan analisis hidrologi untuk memperkirakan hujan rencana, dan besarnya debit puncak, sebagai dasar untuk membuat desain saluran drainasi dan mengetahui kapasitas saluran di Kawasan Monas dalam mendrainase debit air banjir. Juga dilakukan analisis hidraulika untuk mengetahui keadaan aliran di saluran mikro, dan saluran penghubung, dan analisis kapasitas tampang saluran untuk menggambarkan lokasi di sistem drainase yang kurang mampu melewatkan air banjir.
Berdasarkan analisis data, dilakukan kajian pengembangan sistem drainase, di Kawasan Taman Monas meliputi desain saluran tambahan, pembuatan kolam tampungan air bawah tanah, dan penambahan/perbaikan tali air pada saluran eksisting. Saluran drainase yang dikembangkan dikoneksikan dengan saluran penghubung di sekitar Kawasan Monas, dan terkoneksi dengan sistem tampungan bawah tanah. Tandon air bawah tanah direncanakan dibuat dari struktur beton bertulang atau dengan alternatif penggunaan Harvesting-Tank yang didesain porus sehingga dapat memperbaiki infiltrasi air hujan masuk ke dalam tanah. Saluran drainase yang baru serta kolam tandon air ditempatkan di bawah tanah, ditutup dengan penutup berpori, dan ditimbun dengan tanah timbunan porous, sekaligus sebagai media tumbuh tanaman rumput.
Kata kunci: sistem drainase terintegrasi, tandon air, Harvesting-tank

1.      Pendahuluan
Permasalahan yang dihadapi Jakarta sebagai ibukota negara semakin berat dikarenakan adanya perluasan kota atau  proses urban sprawl  yang  merupakan bentuk bertambah luasnya kota secara fisik. Perluasan kota disebabkan oleh   perkembangnya penduduk dan semakin tingginya arus urbanisasi. Semakin bertambahnya penduduk kota menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap perumahan, perkantoran, dan fasilitas sosial ekonomi lain. Urban sprawl terjadi dengan ditandai adanya alih fungsi lahan yang ada di sekitar kota (urban periphery) mengingat terbatasnya lahan yang ada di pusat kota. Urban sprawl merupakan salah satu bentuk perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara vertikal maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota. Dampak dari pemekaran kota adalah semakin berkurangnya lahan subur produktif pertanian sehingga mengancam swasembada pangan karena terjadi perubahan peruntukan lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Disamping itu pemekaran kota yang tidak terkendali (unmanaged growth) menyebabkan morfologi kota yang tidak teratur, kekumuhan (slum), dan permukiman liar (squatter settlement) dan kini Jakarta dikenal sebagai kota Megapolitan secara berkelanjutan, dikhawatirkan dalam lima tahun ke depan Jakarta akan mengalami stagnasi, sehingga tidak ada lagi lahan yang bisa dibangun dan penduduk Jakarta akan sangat sulit bergerak. 
Dalam rangka menanggulangi permasalahan banjir, pada tahun 2007 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merumuskan fokus kerja pengelolaan tata guna air permukaan dan tata guna air tanah Provinsi DKI Jakarta yang tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2007-2012; Terdapat sepuluh fokus kerja pengelolaan tata air yang menjadi arahan kebijakan umum pembangunan daerah (Herawati S. 2010) :
(1).         Memperlambat aliran air dari hulu melalui pembangunan waduk ciawi, beberapa pintu air di Depok, dan sodetan Ciliwung-Cisadane.
(2).         Membangun sistem polder dan drainase.
(3).         Memperbaiki dan membangun tanggul untuk mengantisipasi kenaikan pasang laut.
(4).         Meninjau-ulang (review) masterplan pengendalian banjir.
(5).         Menertibkan dan menata sempadan kali, danau dan situ.
(6).         Menyelesaikan Banjir Kanal Timur dan normalisasi Banjir Kanal Barat.
(7).         Melakukan pengerukan muara, badan sungai, dan saluran yang menjadi tanggungjawab Provinsi DKI Jakarta.
(8).         Memelihara, meningkatkan dan membangun sarana pengendali banjir.
(9).         Menjalin kerjasama pengendalian banjir dengan Pemda Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Bodetabekjur), & Pemerintah Pusat.
(10).      Mengefektifkan sistem peringatan dini.

Salah satu upaya yang menjadi cita-cita perbaikan sistem drainase tersebut adalah dengan memperbesar Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Biru. Kawasan Monas sebagai salah satu areal Ruang Terbuka Hijau tidak lepas dari permasalahan genangan. Kondisi saluran drainasi di sekeliling Taman Monas tidak dapat berfungsi maksimal, hal ini ditandai dengan adanya genangan/ banjir sering terjadi dan mengganggu, terutama pada daerah vital dan penting, seperti Lapangan Monas baik dari sisi Utara, Selatan, Barat, Atau Timur. Kawasan Taman Monas tidak mampu menampung limpasan air akibat curah hujan deras. Ketersediaan ruas taman yang sedianya dimaksudkan sebagai lahan resapan air tidak dapat berfungsi maksimal karena terjadinya pengerasan/sementasi tanah. Genangan air di kawasan ring satu atau seputar Istana Presiden saat hujan deras juga terjadi sebagai akibat dari hal tersebut. Gambar 1 menunjukkan kerapatan daerah tangkapan di Kawasan Monas, dan kondisi Kawasan Monas saat banjir.

Gambar 1 Kerapatan daerah tangkapan air dan Kejadian Banjir di Kawasan Monas.
Perencanaan teknis saluran membutuhkan aplikasi dari beberapa bidang ilmu yang harus saling melengkapi, baik dari bidang drainase, bangunan air, hidrolika, mekanika tanah, geodesi, maupun mekanikal dan elektrikal. Semua bidang tersebut harus mampu saling mendukung perencanaan teknis saluran, sehingga nantinya dapat tercipta suatu perencanaan yang sinkron dan sistematis sehingga mudah dalam pelaksanaan di lapangan.
Kota Jakarta yang semakin berkembang memiliki dampak positif dan negatif, dampak positif yang terjadi diantaranya adalah semakin berkembangnya laju perekonomian, namun disamping itu perkembangan Kota Jakarta juga memiliki dampak negatif, diantaranya adalah adanya keterbatasan lahan kosong sehingga lahan untuk tata air juga akan semakin berkurang. Untuk itu dibutuhkan suatu program kerja yang terpadu untuk mengatasi banjir/genangan dan membuat suatu perencanaan teknis saluran.

2.      Permasalahan Drainase di Kawasan Monas
Permasalahan genangan di Kawasan Monas menjadi sorotan dari berbagai pihak, mengingat daerah tersebut berada di jantung kota dan di pusat pemerintahan.Beberapa penyebab genangan/ banjir tersebut di Kawasan Monas teridentifikasi sebagai berikut :
·         Kapasitas saluran yang tidak memadai untuk mengalirkan air hujan terutama pada saat intensitas hujan tinggi. Disamping itu juga pemeliharaan saluran yang kurang baik, dimana banyak dijumpai sampah dalam saluran
·         Drainase yang tidak berwawasan lingkungan, ditambah dengan kondisi tanah yang tidak mampu meresapkan air.
·         Kurangnya tali-tali air yang berfungsi memaskkan air hujan ke dalam saluran
·         Terdapatnya endapan lumpur (sedimentasi) pada saluran-saluran mikro, penghubung, sub makro maupun makro.
·         Pengaruh pasang air laut yang berdampak pada efek pembendungan sehingga muka air di saluran primer relative tinggi.
·         Penurunan muka tanah dan adanya kenaikan muka air laut akibat “Global Warming”, dan sebagainya

3.      Perencanaan Teknis Sistem Drainase
Kondisi fisik Kawasan Monas
Beberapa penelitian tentang kondisi fisik di kawasan Monas untuk mendukung upaya perbaikan sistem drainase, diantaranya diuraikan sebagai berikut ini.
Jenis Tanah
Kondisi tanah di kawasan Monas dapat dikaji dari data hasil pemeriksaan laboratorium untuk sampel tanah yang diambil secara undisturbed, serta data permabilitas tanah dari hasil pengujian permeabilitas di laboratorium. Data kondisi tanah tersebut disajikan sebagai berikut ini.
Tabel 1 Data hasil Pengujian Laboratorium Mekanika Tanah

Sedangkan nilai permeabilitas tanah diberikan sebagai berikut ini.
Tabel 2 Data Permeabilitas Tanah
Diperlihatkan pada data tanah tersebut, jenis tanah di kawasan Monas berupa tanah lempung coklat dan abu-abu dengan nilai kohesi c antara 0,192 – 0,298 kg/cm2, dengan permeabilitas tanah antara (4,6 – 8,7) 10-7 cm/dt yang mengindikasikan juga jenis tanah lempung.  Dengan jenis tanah lempung tersebut, kemampuan tanah untuk meresapkan air sangat kecil sehingga fungsi Taman Monas sebagai kawasan resapan air tidak cukup optimal.
Penurunan muka air tanah dan Land Subsidence
Menurut data dari BPLHD, terjadi penurunan muka air tanah yang cukup signifikan, mencapai 10 – 40 m selama 45 tahun, atau sekitar 0,2 – 0,9 m/tahun. Untuk Kota Administrasi Jakarta Pusat, penurunan air tanah yang terjadi rata-rata sekitar 0,2-0,5 m/tahun. Penurunan muka air tanah diantaranya disebabkan oleh pengambilan air tanah oleh industri dan perkantoran yang melebihi imbuhan air ke dalam tampungan air tanah. Pengambialan air tanah di DKI saat ini mencapai 253 juta m3/th, defisit sekitar 67 juta m3/th terhadap ambang batas sebesar 186 juta m3/th. Imbuhan air tanah berasal dari air hujan, dimana per tahun rerata air hujan yang jatuh di DKI sekitar 2000 juta m3, 26% nya meresap mengisi air tanah dangkal. Dari 532 juta m3/th yang masuk ke tampungan air tanah dangkal tersebut, hanya 30 jt m3 yang mengisi tampungan air tanah dalam. Defisit air tanah tersebut berdampak pada terjadinya penurunan muka air tanah dan intrusi air asin.
Dengan penurunan muka air tanah tersebut, berdampak terjadinya land subsidence, yang menurut data dari JICA (1997), mencapai 5- 10 cm/tahun di DKI. Sedangkan intrusi air asin sudah masuk ke daratan sejauh 3 km di air tanah dangkal dan mencapai 10 km di air tanah dalam.

Analisis Hidrologi dan Hidraulika
Analisis hidrologi dimaksudkan untuk memperkirakan hujan rencana, dan besarnya debit puncak, sebagai dasar untuk perencanaan / desain saluran drainasi dan mengetahui kapasitas di saluran Kawasan Monas dalam mendrainase debit air banjir.
Di Provinsi DKI Jakarta terdapat 12 stasiun yang dikelola oleh Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Data intensitas hujan dikumpulkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Menurut studi sebelumnya oleh NEDECO (1973, 2005) dan JICA (1991), stasiun hujan No 27 di BMG Kemayoran, yang berada di tengah-tengah kota Jakarta dianggap dapat mewakili kondisi hujan di pusat Kota Jakarta, termasuk kawasan di wilayah studi yaitu Kawasan Monas. Dengan berdasarkan data hujan di stasiun No 27, dapat disusun Kurva intensitas-Frekuensi-Durasi (The Intensity-Duration-Frequency curve), IDF, yang digunakan untuk estimasi desain aliran pada saluran mikro, dan sub makro di wilayah DKI
Mengacu pada standar yang ada, untuk menghitung dimensi saluran digunakan periode kala ulang banjir 2 - 5 tahun untuk saluran mikro, 5 - 10 tahun saluran penghubung, dan untuk saluran sub makro, 10 - 25 tahun. Untuk saluran makro, didesain berdasarkan debit banjir kala ulang 50 tahun.
Intensitas Hujan
Intensitas hujan rancangan didapatkan dari lengkung IDF (Intensity Duration Frekuency), yang berupa grafik hubungan antara durasi hujan (t : menit) vs intensitas hujan ( I : mm/jam). Analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman data hujan Intensitas hujan rancangan merupakan intensitas hujan pada saat waktu puncak (tp) Intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) secara empirik menggunakan metode mononobe.
Koefisien Limpasan (Run Off)
Koefisien runoff ditentukan berdasarkan tipe tata guna lahan pada daerah Catchment Area tersebut, dengan anggapan bahwa daerah tersebut sudah berkembang sepenuhnya sesuai rencana tata ruang wilayah kecamatan dari Dinas Tata Kota DKI Jakarta. Nilai koefisien limpasan pada lahan-lahan di Jakarta Pusat (termasuk Kawasan Monas) adalah merupakan daerah pemukiman padat dengan tingkat kerapatan bangunan sangat rapat, akan tetapi karena di Kawasan Monas tanah yang ada berupa lempung maka diambil nilai Cy = 0,60.  
 Daerah Tangkapan Air Saluran Drainase (Catchment)
Untuk mendapatkan daerah tangkapan air yang mewakili kenyataan di lapangan, maka digunakan data/informasi sebagai berikut ini
a.       Peta GIS yang terdiri atas layer kontur, jalan, sungai/saluran, bangunan, dan daerah genangan,
b.       File image hasil foto udara,
c.        Informasi lapangan,
d.       Hasil topografi survei saluran,
e.        Hasil studi yang ada
Perhitungan Debit Puncak Untuk Desain Saluran Drainase
Sesuai Acuan Desain, debit puncak untuk desain saluran drainase dihitung menggunakan formula rasional, yang banyak digunakan dalam rekayasa hidrologi, yang diberikan sebagai berikut:
Qy = 0.00278 Cy  Itc,y A
Analisis Hidraulika
Pada umumnya di saluran drainase pada saat kedalaman air normal maka profil aliran di saluran sangat menyerupai aliran seragam. Akan tetapi hal ini akan segera berubah akibat adanya ketidakteraturan setempat dari saluran akibat adanya gangguan (sedimentasi, vegetasi, sampah dll). Analisis kapasitas tampang merupakan salah satu bagian dari analisis hidraulika. Informasi yang diperoleh dari analisis kapasitas tampang menggambarkan tempat-tempat penting di sepanjang saluran yang kurang mampu melewatkan air. Informasi-informasi yang digunakan untuk analisis kapasitas tampang antara lain adalah luas tampang melintang saluran, kondisi dasar dan tebing saluran, dll.
Tabel 3 berikut ini memberikan hasil analisa hidraulika kapasitas saluran, yang disajikan bersama-sama dengan hasil hitungan debit 5 tahunan yang didrainase lewat saluran.

Tabel 3 Hasil kajian Debit banjir 5 Tahunan dan Desain Ukuran Saluran Drainase.

Sistem drainase kawasan Monas
Drainase yang sudah ada di Kawasan Taman Monas hanya di sekitar sisi Jalan Silang Monas dan acap kali tak mampu menampung limpahan air hujan dari berbagai tempat di taman. Pengembangan sistem drainase di Kawasan Taman Monas meliputi desain saluran tambahan, yang difungsikan untuk mendrainasi air hujan yang turun di taman untuk disalurkan ke saluran penghubung di sisi jalan silang dan saluran di sisi jalan di keliling luar Taman Monas (Jalan Merdeka Timur, Barat Utara dan Selatan). Disamping itu sistem saluran juga di kombinasikan dengan pembuatan kolam tampungan air bawah tanah, yang diharapkan dapat difungsikan sebagai tampungan retensi.

Pada Silang Monas Utara, sudah ada saluran eksisting di sisi jalan Silang Barat Laut dan Jalan Silang Timur Laut. Untuk pengembangan saluran drainase ini didesain beberapa saluran tambahan, seperti disajikan pada Tabel 1. Saluran drainase tambahan tersebut dikoneksikan dengan saluran eksisiting yang ada serta Saluran Penghubung yang mengelilingi Kawasan Monas. Disamping itu sistem saluran drainase tersebut dihubungkan dengan kolam retensi yang dibangun di bawah tanah. Lay-out sistem saluran serta penempatan kolam tandon air bawah tanah diberikan pada Gambar 2.
Struktur saluran didesain menggunakan U-Ditch dengan tutup berlubang, yang diharapkan air hujan disamping masuk saluran lewat tali-tali air, juga terinfiltrasi dan masuk saluran lewat tutup U-ditch. Pada Gambar 3 ditunjukkan Potongan Melintang Saluran A, dimana seluruh badan saluran ditempatkan di bawah muka tanah. Saluran U-ditch 0,80 x 0,80 ditutup dengan penutup berpori, dan ditimbun dengan tanah timbunan porous, sekaligus sebagai media tumbuh tanaman rumput. Diantara tutup U-ditch dan tanah timbunan dipasang lembaran geotextile. Untuk memasukkan air hujan ke saluran, pada tiap jarak 4,8 m (4 U-Ditch) dipasang tali air, dimana permukaan tali air dibuat di permukaan tanah. Saluran drainase di Kawasan Monas tersebut, disamping dikoneksikan dengan kolam bawah tanah, juga terhubung dengan saluran penghubung di sekitarnya, yaitu saluran penghubung di Jalan Merdeka Utara, Selatan, Barat dan Timur, untuk selanjutnya dialirkan ke saluran drainase Primer di Kali Cideng.
Dari kajian kondisi lapangan, teridentifikasi 10 lokasi yang memungkinkan untuk dibuat tandon air bawah tanah. Lokasi-lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan tidak ada tanaman besar yang ditebang untuk pembangunan kolam tersebut. Mengingat bagian selatan Tugu Monas dalam Masterplan Penataan Kawasan Monas direncanakan dibangun ruangan bawah tanah, maka dipilih 7 lokasi kolam saja yang direkomendasikan untuk dibuat, dimana dimensi kolam serta kapasitasnya diberikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut, disajikan juga volume air hujan yang turun di kawasan Taman Monas, dimana diperlihatkan bahwa tidak semua kolam di masing-masing bagian dapat mencukupi menampung air hujan yang turun, sehingga dalam desain koneksi antara saluran dan kolam perlu dilengkapi dengan pipa outlet yang dikoneksikan dengan sistem saluran drainase eksisting.

Tabel 4 Volume Air Hujan dan Kapasitas Kolam


        
Gambar 2. Lay-out penempatan Rencana Saluran dan Kolam Bawah Tanah




Gambar 3 Tipikal Saluran: U-Ditch (kiri), dengan Bak Kontrol (kanan) 



Gambar 4 Tipikal Kolam Bawah Tanah sebagai Badan Air di Bawah RTH, Struktur Beton
Tampak Lay-out (atas), Potongan (bawah)

Struktur kolam bawah tanah dapat juga digunakan bahan non-beton, sebagai alternatif, yaitu dengan menggunakan Versi-Tank. Contoh penggunaan Versi-Tank  untuk kolam retensi diberikan pada Gambar 5. Versi-Tank  ini terbuat dari recycled polypropylene, dengan kemampuan pembebanan lebih dari 11 t/m2.
Mengingat kondisi tanah di kawasan Monas yang berupa tanah lempung, kolam bawah tanah tersebut tidak efektif jika difungsikan sebagai kolam infiltrasi, akan tetapi berfungsi sebagai kolam retensi. Dari 7 kolam tersebut diperlukan dana konstruksi sebesar sekitar 16,3 Milyar Rupiah. Saat ini Ruang Terbuka Biru yang ada di DKI baru sekitar 2,8% dari kondisi ideal mencapai 10 %. Dengan adanya 7 kolam bawah tanah tersebut dapat menambah jumlah badan air yang ada di DKI, sekaligus memperbaiki Ruang Terbuka Hijau yang di Kawasan Monas tidak dapat berfungsi optimal sebagai areal resapan karena kondisi tanahnya yang tidak permeabel. Kolam awah tanah yang dibuat, disamping dimanfaatkan sebagai kolam retensi untuk mengurangi genangan, air yang tersimpan di kolam dapat dimanfaatkan untuk menyiram tanaman.
Gambar 5 Tipikal Kolam Bawah Tanah sebagai Badan Air di Bawah RTH, Alternatif dengan Versi-Tank
(sumber: PT. Trisigma Indonusa)

4.      Kesimpulan
 Dari kajian di atas, disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1.       Genangan di Kawasan Taman Monas sering terjadi dikarenakan kemampuan sistem drainase eksising tidak mampu mendrainasi air hujan yang turun.
2.       Kondisi tanah yang berupa tanah lempung dengan nilai permeabilitas rendah, menyebabkan fungsi resapan kawasan Monas sebagai Ruang Terbuka Hijau tidak optimal.
3.       Dari Kajian data, untuk mengurangi dan mengendalikan genangan, diperlukan perbaikan sistem drainase eksisting, penambahan saluran drainase, serta pembuatan kolam bawah tanah
4.       Dua alternatif kolam bawah tanah diusulkan, yaitu kolam beton dan kolam dengan Versi-Tank. Keduanya diharapkan dapat berfungsi sebagai kolam retensi sehingga membantu mengurangi genangan dan memperbaiki fungsi Taman Monas sebagai Ruang Terbuka Hijau yang mampu meresapkan air.

DAFTAR PUSTAKA
Bapekota Jakarta Pusat,  2006.  Perencanaan Sistem Jaringan Drainase Perkotaan Berwawasan Lingkungan, Badan Perencanaan Kota Jakarta Pusat
Bataviase. co. Id, DPRD Minta Drainase Monas Diperbesar

Beritabatavia.com, 5 Okt 2010,  Drainase Monas Perlu Diperbaiki

Hermawati S. (2010), Evaluasi Kebijakan Ketertiban Umum dalam Pengelolaan Sungai dan Saluran untuk Penanggulangan Banjir, Disertasi, Program Pasca Sajana UNJ.
Indo Pos, 4 Maret 2010, Drainase Ring I Buruk Genangan di Kawasan Istana Presiden RI
Nursula Jaya Utama, PT. (2010),  Laporan Akhir, Perencanaan Teknis Sistem Drainase dan Konservasi di Kawasan Monas Sisi Barat, Timur, Selatan, dan Utara.
Pos Kota, 5 Maret 2010, DKI Bangun Penampungan Air Bawah Tanah di Monas